Senin, 01 Januari 2018

Cinta Satu Sisi



Membahas tentang cinta satu sisi itu pasti berisi dengan rasa sakit, luka yang membekas, dan kenangan yang tak terlupakan. Bertepuk sebelah tangan itu sakit, saya merasa bahwa waktu saya terbuang sia-sia setelah mengetahui dia sudah terlanjur suka kepada orang lain, apapun usaha yang saya lakukan tidak akan berarti karena saya hanya berada ditempat yang sama tanpa melakukan suatu progress. Saya mengalaminya berulang kali dengan alur yang sama, rasanya seperti kita menonton suatu film box office yang di remake oleh sutradara lain, seru dan bagus tapi bosan. Saya bosan dengan apa yang saya alami, tapi dilain sisi saya juga merasa bodoh terus menjalaninya dan menikmati apa yang tidak pantas dinikmati, terus jatuh ke lubang yang sama, memalukan. Sampai tiba saat dimana saya mulai merasa muak dan menyalahkan cinta yang selalu jatuh pada orang yang tidak tepat, muncul perasaan untuk meninggalkan segala hal tentang cinta karena hanya membuat saya sedih dan tidak bahagia. Untuk apa melakukan hal yang membuat kita sedih jika masih ada seribu hal lain diluar sana yang bisa menjamin kebahagiaan?.
Seberapa keras raga mencoba tapi selalu gagal, karena saya terlalu naif dengan menentang hukum alam bahwa makhluk hidup itu dapat merasakan cinta, namun saya justru mencoba untuk tidak merasakannya, sungguh naif memang. Saya akan mendadak menjadi orang yang sangat bijak setelah cinta saya kandas, disaat saya jatuh cinta saya menjadi orang yang dipenuhi ego dan ambisi yang dengan yakin bahwa “hasil tidak akan menghianati usaha” dan terus melakukan segala hal yang kadang diluar kemampuan, apapun saya lakukan. Tapi, semua berakhir sebelum saya sempat menyatakan perasaan, dan akhirnya cinta yang tadinya terasa indah saya bunuh dan kubur dalam-dalam, sadis? Memang.
Karena kisah cinta saya inilah akhirnya saya memutuskan menjadi seorang introvert, menjalin pertemenan secukupnya, teman yang saya miliki tidaklah banyak apalagi kepada lawan jenis. Itu saya lakukan untuk mencegah jatuh cinta yang datang tiba-tiba, karena begitu cinta datang (khususnya) dihidup saya akan menjadi sesuatu yang bahaya, karena hal yang saya takutkan yaitu apa yang telah saya alami lagi-lagi terjadi.
Tetapi saya hanyalah manusia biasa yang suatu saat pasti akan merindukan kasih sayang, merasa iri pada teman atau orang lain, dan menginginkan suatu hubungan dengan seseorang. Dan pada akhirnya kenaifan dan ego saya pun kalah dengan keinginan-keinginan tersebut dan hati saya pun kembali terbuka untuk mencintai seseorang, disinilah letak kebodohan diri saya yang sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi percaya cinta namun di ingkarnya, buat janji sendiri di ingkari sendiri, semacam hal yang sangat tidak berfaedah.
Pada saat saya jatuh cinta seakan saya membuat suatu naskah drama, ekspetasi dan realita sangatlah berperan. Tokoh utama adalah ekspetasi dan realita hanya saya tempatkan pada pemeran pembantu. Jadi tidak heran jika disaat tokoh utama tidak memerankan perannya dengan baik saya sebagai sutradara merasa marah dan rugi. Saya sudah memberikan harapan yang sangat besar pada sang tokoh utama, tapi kenapa justru perannya dikalahkan dengan pemeran pembantu? Betapa mengecewakan bukan?.
Rasa kecewa akan cinta yang bertepuk sebelah membuat saya bertanya pada diri sendiri “Apa yang salah?” Semua yang saya lakukan sudah terasa benar, atau mungkin karena cinta yang membuat saya buta seakan membuat semua perbuatan saya paling benar? Sulit menerima kenyataan yang pahit dan tidak bisa berpikir jernih selalu saya rasakan disaat-saat seperti itu, tapi menyadarinya bukan pada detik itu juga melainkan setelah semua terjadi, otak terlambat berpikir dan hati terlambat merasakan.
Entah apa yang terjadi pada diri saya, saat jatuh cinta tidak ada orang lain yang berwarna kecuali orang yang saya cintai, mata hanya tertuju padanya. Hati tidak tertarik dengan segala hal yang menarik diluar sana. Otak tidak memikirkan hal lain selain dia seorang, semua tertutup rapat dan seakan saya buta akan realita, raga menjadi bersemangat saat bertemu dengannya dan nyaman didekatnya.
Namun disini kisah saya sedikit menyimpang dari arti cinta satu sisi, karena cinta saya yang belum sempat ternyatakan. Jadi, pada dasarnya orang yang saya cintai belum sempat tau sampai detik ini jika saya ada perasaan padanya. Semuanya berawal begitu indah dengan hadirnya dia dihidup ini, lalu hati tertarik untuk memilikinya dan raga pun mulai mendekatinya tanpa sadar, saat semua berjalan dengan mulus timbul lah pemikiran-pemikiran yang sudah jauh entah kemana, serasa dia sudahlah menjadi kepemilikan saya, tapi semua berbalik disaat hati sedang bersiap untuk menyatakan perasaan tiba-tiba dia sudah terlanjur menyukai orang lain.
Kesal dan marah sudah pasti, menyalahkan semua orang yang terkait dan hati terus mencacinya, dan parahnya diri sendiri pun ikut tersalahkan. Tapi setelah saya berpikir dengan jernih, mungkin saja saya terlalu lama menyatakan perasaan saya yang akhirnya semua terlambat dan sia-sia, karena pada dasarnya cinta itu untuk dinyatakan, perasaan perlu diungkapkan, dan keinginan dimengerti perlu untuk dijelaskan.
Tapi pada masa modern seperti ini saya berpikir bahwa mendekati seseorang memerlukan proses sampai menemui titik terang dan menunggu saat yang tepat. Padahal, jika sudah merasakan jatuh cinta entah itu kapan seharusnya langsung nyatakan saja, karena kita hanya menyatakan cinta bukan memintanya menjadi pacar bukan? Tidak mungkin dia akan menolak, justru saya akan mengetahui apakah dia bersedia untuk saya cintai dan dia akan mencoba untuk mencintai saya, daripada saya hanya diam yang pada akhirnya terlambat dan hal yang sangat saya sesalkan adalah bahwa orang yang saya cintai tidak tau sama sekali bahwa saya mencintainya.
Jika saya mengingat masa SMP dimana untuk mencari pacar tidaklah perlu pendekatan yang intensif, baru beberapa hari kenal sudah menjadi pacar. Terkadang saya sedikit tertawa mengingat bahwa faktanya memang harus seperti itu, cinta itu harus dinyatakan. Namun, disaat beranjak dewasa semuanya berubah menjadi lebih sulit, saya pernah mendengar suatu kalimat dari rekan saya “Semakin sulit mendapatkannya, semakin sulit juga kehilangannya” dari kalimat inilah banyak orang yang hanya mengambil artinya tanpa menyerap maknanya termasuk saya sendiri. Setelah saya resapi, kalimat itu hanya berlaku ketika kita sudah menyatakan perasaan dan orang yang kita cintai sudah tau kalau kita ada perasaan padanya, barulah disitu kita memulai perjuangan yang sesungguhnya, kesulitan sesungguhnya untuk membuatnya mencintai diri kita, semakin sulit membuatnya jatuh cinta maka akan semakin sulit juga dia akan melupakan kita karena sudah jatuh terlalu dalam, dengan kita menyatakan cinta itu berarti kita telah siap untuk berjuang membuatnya mencintai kita (jika) dia juga siap meluangkan waktunya untuk melihat perjuangan kita, namun bagi saya itu lebih baik ketimbang berjuang dulu baru menyatakannya. Karena otak yang terlambat berpikir itulah membuat saya tertawa kecil dalam hati bahwa ternyata selama ini memang se-simple itu dan hati juga tidak akan terbebani dengan perasaan yang dipendam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cinta Satu Sisi

Membahas tentang cinta satu sisi itu pasti berisi dengan rasa sakit, luka yang membekas, dan kenangan yang tak terlupakan. Bertepuk seb...