Membahas tentang cinta
satu sisi itu pasti berisi dengan rasa sakit, luka yang membekas, dan kenangan
yang tak terlupakan. Bertepuk sebelah tangan itu sakit, saya merasa bahwa waktu
saya terbuang sia-sia setelah mengetahui dia sudah terlanjur suka kepada orang
lain, apapun usaha yang saya lakukan tidak akan berarti karena saya hanya
berada ditempat yang sama tanpa melakukan suatu progress. Saya mengalaminya berulang kali dengan alur yang sama,
rasanya seperti kita menonton suatu film
box office yang di remake oleh
sutradara lain, seru dan bagus tapi bosan. Saya bosan dengan apa yang saya
alami, tapi dilain sisi saya juga merasa bodoh terus menjalaninya dan menikmati
apa yang tidak pantas dinikmati, terus jatuh ke lubang yang sama, memalukan.
Sampai tiba saat dimana saya mulai merasa muak dan menyalahkan cinta yang
selalu jatuh pada orang yang tidak tepat, muncul perasaan untuk meninggalkan
segala hal tentang cinta karena hanya membuat saya sedih dan tidak bahagia.
Untuk apa melakukan hal yang membuat kita sedih jika masih ada seribu hal lain
diluar sana yang bisa menjamin kebahagiaan?.
Seberapa keras raga
mencoba tapi selalu gagal, karena saya terlalu naif dengan menentang hukum alam
bahwa makhluk hidup itu dapat merasakan cinta, namun saya justru mencoba untuk
tidak merasakannya, sungguh naif memang. Saya akan mendadak menjadi orang yang
sangat bijak setelah cinta saya kandas, disaat saya jatuh cinta saya menjadi
orang yang dipenuhi ego dan ambisi yang dengan yakin bahwa “hasil tidak akan
menghianati usaha” dan terus melakukan segala hal yang kadang diluar kemampuan,
apapun saya lakukan. Tapi, semua berakhir sebelum saya sempat menyatakan
perasaan, dan akhirnya cinta yang tadinya terasa indah saya bunuh dan kubur
dalam-dalam, sadis? Memang.
Karena kisah cinta saya
inilah akhirnya saya memutuskan menjadi seorang introvert, menjalin pertemenan secukupnya, teman yang saya miliki
tidaklah banyak apalagi kepada lawan jenis. Itu saya lakukan untuk mencegah
jatuh cinta yang datang tiba-tiba, karena begitu cinta datang (khususnya)
dihidup saya akan menjadi sesuatu yang bahaya, karena hal yang saya takutkan
yaitu apa yang telah saya alami lagi-lagi terjadi.
Tetapi saya hanyalah
manusia biasa yang suatu saat pasti akan merindukan kasih sayang, merasa iri
pada teman atau orang lain, dan menginginkan suatu hubungan dengan seseorang.
Dan pada akhirnya kenaifan dan ego saya pun kalah dengan keinginan-keinginan
tersebut dan hati saya pun kembali terbuka untuk mencintai seseorang, disinilah
letak kebodohan diri saya yang sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak
lagi percaya cinta namun di ingkarnya, buat janji sendiri di ingkari sendiri,
semacam hal yang sangat tidak berfaedah.
Pada saat saya jatuh
cinta seakan saya membuat suatu naskah drama, ekspetasi dan realita sangatlah
berperan. Tokoh utama adalah ekspetasi dan realita hanya saya tempatkan pada
pemeran pembantu. Jadi tidak heran jika disaat tokoh utama tidak memerankan
perannya dengan baik saya sebagai sutradara merasa marah dan rugi. Saya sudah
memberikan harapan yang sangat besar pada sang tokoh utama, tapi kenapa justru
perannya dikalahkan dengan pemeran pembantu? Betapa mengecewakan bukan?.
Rasa kecewa akan cinta
yang bertepuk sebelah membuat saya bertanya pada diri sendiri “Apa yang salah?”
Semua yang saya lakukan sudah terasa benar, atau mungkin karena cinta yang
membuat saya buta seakan membuat semua perbuatan saya paling benar? Sulit
menerima kenyataan yang pahit dan tidak bisa berpikir jernih selalu saya
rasakan disaat-saat seperti itu, tapi menyadarinya bukan pada detik itu juga
melainkan setelah semua terjadi, otak terlambat berpikir dan hati terlambat
merasakan.
Entah apa yang terjadi
pada diri saya, saat jatuh cinta tidak ada orang lain yang berwarna kecuali
orang yang saya cintai, mata hanya tertuju padanya. Hati tidak tertarik dengan
segala hal yang menarik diluar sana. Otak tidak memikirkan hal lain selain dia
seorang, semua tertutup rapat dan seakan saya buta akan realita, raga menjadi
bersemangat saat bertemu dengannya dan nyaman didekatnya.
Namun disini kisah saya
sedikit menyimpang dari arti cinta satu sisi, karena cinta saya yang belum
sempat ternyatakan. Jadi, pada dasarnya orang yang saya cintai belum sempat tau
sampai detik ini jika saya ada perasaan padanya. Semuanya berawal begitu indah
dengan hadirnya dia dihidup ini, lalu hati tertarik untuk memilikinya dan raga
pun mulai mendekatinya tanpa sadar, saat semua berjalan dengan mulus timbul lah
pemikiran-pemikiran yang sudah jauh entah kemana, serasa dia sudahlah menjadi
kepemilikan saya, tapi semua berbalik disaat hati sedang bersiap untuk
menyatakan perasaan tiba-tiba dia sudah terlanjur menyukai orang lain.
Kesal dan marah sudah
pasti, menyalahkan semua orang yang terkait dan hati terus mencacinya, dan
parahnya diri sendiri pun ikut tersalahkan. Tapi setelah saya berpikir dengan
jernih, mungkin saja saya terlalu lama menyatakan perasaan saya yang akhirnya
semua terlambat dan sia-sia, karena pada dasarnya cinta itu untuk dinyatakan,
perasaan perlu diungkapkan, dan keinginan dimengerti perlu untuk dijelaskan.
Tapi pada masa modern
seperti ini saya berpikir bahwa mendekati seseorang memerlukan proses sampai
menemui titik terang dan menunggu saat yang tepat. Padahal, jika sudah
merasakan jatuh cinta entah itu kapan seharusnya langsung nyatakan saja, karena
kita hanya menyatakan cinta bukan memintanya menjadi pacar bukan? Tidak mungkin
dia akan menolak, justru saya akan mengetahui apakah dia bersedia untuk saya
cintai dan dia akan mencoba untuk mencintai saya, daripada saya hanya diam yang
pada akhirnya terlambat dan hal yang sangat saya sesalkan adalah bahwa orang
yang saya cintai tidak tau sama sekali bahwa saya mencintainya.
Jika saya mengingat
masa SMP dimana untuk mencari pacar tidaklah perlu pendekatan yang intensif,
baru beberapa hari kenal sudah menjadi pacar. Terkadang saya sedikit tertawa
mengingat bahwa faktanya memang harus seperti itu, cinta itu harus dinyatakan.
Namun, disaat beranjak dewasa semuanya berubah menjadi lebih sulit, saya pernah
mendengar suatu kalimat dari rekan saya “Semakin sulit mendapatkannya, semakin
sulit juga kehilangannya” dari kalimat inilah banyak orang yang hanya mengambil
artinya tanpa menyerap maknanya termasuk saya sendiri. Setelah saya resapi, kalimat
itu hanya berlaku ketika kita sudah menyatakan perasaan dan orang yang kita
cintai sudah tau kalau kita ada perasaan padanya, barulah disitu kita memulai
perjuangan yang sesungguhnya, kesulitan sesungguhnya untuk membuatnya mencintai
diri kita, semakin sulit membuatnya jatuh cinta maka akan semakin sulit juga dia
akan melupakan kita karena sudah jatuh terlalu dalam, dengan kita menyatakan
cinta itu berarti kita telah siap untuk berjuang membuatnya mencintai kita
(jika) dia juga siap meluangkan waktunya untuk melihat perjuangan kita, namun
bagi saya itu lebih baik ketimbang berjuang dulu baru menyatakannya. Karena
otak yang terlambat berpikir itulah membuat saya tertawa kecil dalam hati bahwa
ternyata selama ini memang se-simple itu dan hati juga tidak akan terbebani
dengan perasaan yang dipendam.